Food Culture (2)


Makanan dalam konteks "nature" dan " culture"


Tidak bisa dipungkiri bahwa makanan merupakan komponen budaya. Merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Adaptasi terhadap apa-apa yang bisa dimakan dan apa-apa yang tabu untuk dimakan. Ini tentunya akan menjadi menarik karena makan bukan hanya tentang apa yang kita sukai untuk dimakan, tetapi juga nutrisi (faedah) apa yang kita dapat dari makanan. Beberapa makanan justru baik untuk tubuh namun tidak lazim dimakan dalam budaya tertentu, atau justru sebaliknya. Kajian mengenai ketahanan pangan tentunya harus tidak luput dari kompenen ini.

Dalam artian luas makanan dapat diartikan sebagai senyawa yang dapat memberikan nilai gizi pada tubuh, memberikan energi, mendorong pertumbuhan dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa makanan itu adalah objek nyata yang dapat dideskripsikan dalam karegori fisik, kimia, biokimia dan lainnya. Oleh karena itu makanan dapat dihitung kuantitasnya dalam, bentuk, berat, kandungan senyawa kimia, sampai jumlah mikroba yang tumbuh didalamnya. Sebagai objek nyata makanan juga bisa dinilai secara subjektif oleh panca indera manusia. Melalui kemampuan manusia ini, makanan terkelompokkan menjadi banyak kategori berdasarkan tingkat kesukaannya.

Menurut Kolb & Wirsaw (2009), panca indera manusia juga punya "receptive field" maksudnya adalah manusia akan terbatas kemampuan inderanya dalam lingkungan receptive field ini. Untuk sementara ini, manusia hanya bisa merasakan 5 rasa yang berbeda dilidahnya. Oleh sebab itu masih banyak penelitian tentang "experience of taste" untuk mengetahui tingkat dan rasa suka itu sendiri.

Makan adalah proses mencerna makanan untuk mendapatkan gizi dari zat yang dimakan. Ada dua alasan utama terciptanya pola makan secara alamiah. Pertama, alasan kesehatan, manusia akan otomatis memilih makanan yang sehat dan menghindari makanan yang meracuni tubuhnya. Dengan porsi yang tepat dapat memenuhi asupan gizi mereka. Itu makanya, sangat mudah menentukan jumlah makanan yang ideal (sehat) untuk di konsumsi dalam satu hari. Terciptanya pola makan secara alamiah kedua adalah karena "pengalaman menikmati makanan", sensasi yang ditimbulkan saat makan memberikan kepusan tersendiri terhadap pelakunya. Alasan inilah membuat seseorang untuk makan melebihi porsinya (subjektif). Bukan sekedar pemenuhan kebutuhan gizi namun lebih kepada pemenuhan kepuasan "psikologis". Salah satu studi yang dilakukan oleh Eldredge dan Agrs (1996) menunjukkan bahwa, orang gemuk cenderung akan makan lebih banyak apabila mereka dalam keadaan stress. Disini terlihat bahwa faktor subjetif muncul sebagi pembentuk pola makan mereka.

Perilaku yang berulang ulang seperti ini, membuat membiasaan dalam pola makan, yang lama kelamaan menjadi suatu budaya makan. Kebisaaan ini secara tidak langsung merupakan bagian dari Pembudayaan pola diet tersebut.

Pertanyan lain yang muncul adalah kenapa komoditi yang sama disiapkan/dimasak menjadi makanan yang berbeda disetiap dareah di seluruh penjuru bumi ini? Menurut Lois Flandrin dan Massimo Montanari (1999), adalah karena teknologi, ekonomi, dan kondisi sosial yang berbeda. Sama sama diketahui bahwa proses pemasakan makanan akan merubah komponen gizi, begitu juga dengan pemilihan bahan mentahnya. Makanan sebagai bagian dari budaya, sangat erat kaitannya dengan bagaimana makanan itu disiapkan untuk lebih "baik" dengan keterbatasan sumber daya alam sekitar. Artian baik disini adalah yang sesuai dengan nilai nilai agama (kepercayaan), adat, sejarah, dan lingkungan.

"Healthy eating and ejoying eating" menjadi konteks baru, konteks dimana antara "nature" dan "culture". Menjadikan "What is good for your body also good for your soul"........



Diringkas dan terjemahkan dari:


rujukan:

Eldredge, K.L., & Agras W.S. (1994). Weight and shape over concern and emotional eating in
binge eating disorder. International journal of eating disorders; 19(1): p. 73-82.

Flandrin, Jean Louis (1999): The humanization of eating behaviour: In Food a culinary
history from antiquity to the present. Ed: Jean-Louis Flandrin and Massimo montanari.
Columbia university press. New York.

Kolb, Bryan & Wishaw, Ian, Q. (2009): Fundamentals of human neuropsychology 6th
Edition. Worth Publisher: New York.

Foto: koleksi pribadi

Postingan Populer