Nasi Kapau



Kelezatan nasi kapau sudah tidak diragukan lagi mampu menggugah selera makan dan kesannya setelah itu akan melekat bertahun-tahun. Racikan bumbu-bumbunya yang pas membuat penggemarnya makan ‘batambuah” (ingin menambah lagi). Disajikan dengan cara yang sederhana, di warung-warung tradisional di Los Lambung Bukittingi, pembeli bisa langsung memilih lauk-pauk apa yang disukai yang terhampar di hadapan mereka dalam panci-panci besar berisi “samba”(lauk-pauk) yang umumnya bersantan dalam bentuk kuah gulai serta tentunya dengan sambal pedas goreng-gorengan balado. Dengan telaten segera pemilik warung mengambilkan seporsi nasi putih biasa yang dilengkapi dengan  lauk pauk dari panci-panci berisi samba tersebut dengan sendok kayu dari tempurung kelapa yang bertangkai panjang sehingga apapun jenis lauk yang diminta pembeli ada dalam jangkauannya. Dan ketika makan, si pembeli langsung duduk bertatapan muka dengan “samba” dengan formasi duduk membentuk huruf U ini. Dan tak jarang pembeli langsung larut dalam hening menikmati nasi kapau dengan lahap sembari terus menggoyang lidah.
Tak banyak yang tahu sejak kapan persisnya usaha nasi kapau ini mulai dikomersilkan. Menurut tetua kampung dulu sejak zaman bergolak penjajahan Belanda pun sudah ada yang berjualan nasi kapau. Nasi kapau dijual secara sederhana sekali yang digendong dalam bakul dan diangkut dengan kereta api (yang kini tidak aktif lagi) ke pusat keramaian pada waktu itu. Dari beberapa nama terkenal yang mengelola bisnis nasi kapau ini seperti nasi kapau Uni Lis, Ni Lis, Uni Icah, bahkan Rindu Alam yang terdapat di tanah rantau sekalipun tidak bisa memberikan kepastian sejak kapan sejarah nasi kapau itu dimulai. Karena merekapun merupakan generasi ke sekian dari nasi kapau yang sudah diwarisan keluarga mereka secara turun temurun ini. Kapau sendiri merupakan nama dari sebuah Kenagarian di Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam yang diambil dari nama sebuah bukit di daerah Baso, bukit Kapau, yang merupakan negeri asal leluhur orang kapau. Kenagarian ini terletak sekitar 5 km dari pusat kota Bukittingi atau sekitar 15 menit perjalanan berkendaraan.
Ira, 28, gadis yang kini melanjutkan usaha nasi kapau ibunya mengatakan bahwa usaha yang dikelolanya ini sepengetahuannya sudah dilakukan pula oleh nenek ibunya sejak dulu. Dia sendiri sejak kecil kesehariannya sudah sering membantu ibunya memasak untuk nasi kapau ini. Baru pada awal usia dua puluhan dia bisa secara mandiri yakin memasak nasi kapau dari resep dan pengalaman yang diajarkan ibunya. Dari delapan orang bersaudara, 3 di antaranya melanjutkan usaha ini di bawah “bendera” yang sama, Nasi Kapau ni Lis. Lain lagi halnya dengan Ni Zur, 40-an, yang mengaku juga melanjutkan usaha nasi kapau ini dari nama kelurga besar Uni Lis. Sepertinya nama usaha nasi kapau yang digunakan secara penting berpengaruh terhadap pelanggan yang datang berkunjung. Biasanya nama-nama besar tersebut memang memiliki pelanggan setia yang bisa dikatakan tidak mau makan nasi kapau kalau tidak di warung tersebut. Di Bukittingi sendiri yang merupakan salah satu daerah destinasi wisata andalan Sumatera Barat, warung-warung nasi kapau ini memang dikonsentrasikan di satu tempat yang dikenal dengan pasar lambung (Los Lambung). Di sini pejual nasi kapau saling berkompetisi mendapatkan perhatian pembeli dengan spanduk-spanduk atraktif dengan tulisan berwarna-warni dan tentunya tidak lupa dengan mencantumkan nama besar usaha nasi kapau yang dipakai. Harga yang ditawarkanpun sangat kompetitif. Berada dalam kisaran 13-18 ribu rupiah per porsi. Soal rasa, tentu ada kualitas ada harga yang pantas. Hanya pembeli yang berhak menghakimi. Biasanya pembeli yang puas akan berbalik kembali bila suatu saat esok berkunjung lagi.
Nasi Kapau memang unik. Tidak hanya dari segi namanya saja, melainkan juga dari tampilan rasa serta menu lauk-pauk yang disajikan. Sedikitnya ada 15 menu lauk pauk hadir setiap harinya. Gulai tambunsu, gulai tunjang, samba itiak lado mudo, goreng belut, dendeng balado merupakan beberapa yang digemari di antaranya. Sayuran yang digunakan adalah berupa pucuk ubi, kol, kacang panjang yang juga dimasak dengan kuah gulai kapau. Memang sedikit sulit membedakannya dari masakan Padang yang secara umum dikenal. Tapi  dari kualitas rasa, nasi kapau tampil beda. Hal inipun diakui jujur oleh pelanggan nasi kapau. Dalam nasi kapau, lauk pauknya dimasak dengan bumbu-bumbu alami yang dibuat langsung dari bahan-bahan segar langsung pada hari itu juga. Tidak ada bumbu pemasak olahan pabrik yang ditambahkan ataupun bahan pengawet kimiawi lainnya yang dicampurkan. Semuanya serba alami. Kekuatan rasanya muncul dari bahan-bahan seperti bawang merah, dasun (bawah putih), cabe segar, jahe, lengkuwas, kunyit sebagai pewarna kuning (ciri khas warna nasi kapau), kemiri sebagai pengental kuah, dan tentunya garam, serta beberapa bumbu pelengkap bahan utama lainnya. Semua bersatu padu dalam racikan yang diwariskan turun-temurun yang ditumbuk dalam lasuang (tempat penghancur bumbu). Dalam proses pemasakannya, semua bahan dimasak dengan menggunakan tungku berbahan bakar kayu api dan disangai dalam kuali besi dengan api kecil. Makin lama disangai, rasanya makin enak. Ini adalah suatu persyaratan utama agar rasa dan aroma alami dari bahan tersebut keluar dengan sempurna. Dan yang menarik dari pewarisan resep ini adalah bahwa antara keluarga yang satu dengan lain meskipun  satu kampung tetap memiliki cita rasa yang beda. Setiap tangan memiliki “kekuatannya” sendiri. Tidak ada standar baku ataupun timbangan khusus untuk menakar berapa banyak bahan yang dibutuhkan. Semua terekam di kepala, dikontrol oleh cerapan indera (rasa, aroma, tampilan fisik), dan tentunya dengan hati dan perasaan, suatu variabel yang sangat subjektif dan personal.
Dalam satu hari setidaknya sebuah usaha nasi kapau menghabiskan modal sedikitnya sekitar satu juta rupiah. Itupun sangat tergantung pada kondisi pasar. Biasanya dalam sehari omzet yang didapat bisa mencapai 1,5-2  juta rupiah. Pada akhir pekan atau hari libur jumlah itu bisa meningkat. Keuntungan yang didapatpun lumayan menjanjikan dalam artian bisa menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Dari pukul tujuh pagi hingga pukul lima sore, denyut penjualan  nasi kapau selalu berdetak. Persaingan sehatpun terjadi antar tetangga sekampung di dalam pasar.
Menurut data yang ada di kantor Wali Nagari Kapau, sedikitnya ada 5 jorong dari 12 jorong yang ada yang penduduknya masih melestarikan profesi leluhur ini. Kelima jorong tersebut adalah: Jorong Parak Maru, Dangkek Paninjauan, Ladang Laweh, Korong Tabik, dan Koto Panjang. Sebagian besar mereka sukses berkarir di kampung sendiri (Sumatera Barat) dan juga di tanah rantau di hampir di seluruh pelosok nusantara bahkan hingga ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dsb. Orang-orang rantau tersebut biasanya pada hari lebaran pulang basamo (pulang bersama) untuk bersilaturrahmi dan memberikan sumbangan untuk membangun nagari ini dari hasil kesuksesan mereka di rantau, umumnya berkat nama nasi Kapau. Namun seiring dengan kemajuan zaman, kecenderungan pencaplokan nama Kapau sebagai pelaris sering disalahgunakan. Orang yang bukan dari Kapau pun mencantumkan nama kampung ini guna melariskan dagangan mereka. Maka pemerintah daerah setempat bersama ikatan keluarga perantau Kapau pernah mencoba mematenkan nama nasi kapau ini agar tidak “dicuri” lagi. Namun upaya ini agaknya tidak berhasil karena spesifikasi nasi kapau terlalu melebar dan sulit dibahasakan dengan tegas seperti apa segmentasi nasi kapau yang dimaksud. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena memang tidak ada standar baku dalam memasak nasi kapau. Orang hanya mengenal nasi kapau setelah mencerapnya dengan lidah dan merasakannya dengan hati. Tapi paling tidak upaya ini sudah merupakan suatu bentuk penekanan terkolektif bahwa nasi kapau punya identitas dan warnanya sendiri.

*) Wahyudi David & Fauzan G Wardhana

Postingan Populer