Standar Nasional Indonesia (SNI) Beras Organik Multikualitas: Peluang dan Tantangan
Oleh. Dr. agr. Wahyudi David,
M.Sc
Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan Univ. Bakrie, Tim Peneliti AOI dan
Peneliti ISOFAR
Indonesia merupakan
negara dengan konsumsi beras perkapita yang tinggi, mencapai sekitar 130 kg
pertahunnya (Mohanty, 2013). Sejalan dengan itu, konsumsi beras organik juga
cukup tinggi dibanding dengan produk organik lainnya (Suhardjo et. al, 2013;
AOI, 2014). Dengan pertumbuhan lahan pertanian organik rata-rata sekitar 3,58 %
pertahunnya diharapkan Indonesia dapat mencukupi kebutuhan beras organik untuk
konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Pertumbuhan konsumsi beras organik ini
dikarenakan adanya bentuk kepedualian masyarakat (konsumen) terhadap kesehatan
pribadi ataupun kelurganya, fenomena ini juga didorong oleh kepedualian
konsumen akan kelestarian lingkungan (Fellows dan Joober, 2000). Tak hanya
untuk buah dan sayuran, beras yang dihasilkan dari pertanian organik banyak
dicari konsumen (Purwasasmita & Sutaryat, 2014). Bahkan Ekspor beras
organik di Indonesia saat ini menurut data Kementrian Pertanian pada tahun 2014
mencapai total lebih kurang 100.000 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Suharjo et.
al (2013) menyatakan bahwa beras organik menepati produk organik yang paling
banyak kedua yang dikonsumsi setelah sayuran organik.
Beras organik
impor, hingga saat ini belum ada laporan ataupun data yang resmi menyatakan
jumlah dan varian yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan dengan Permentan No
51/HK.310/4/2014 tentang rekomendasi ekspor dan impor beras tertentu yang
menyebutkan bahwa impor beras hanya dapat dilakukan apabila terjadinya
kekurangan cadangan beras nasional dan atau apabila beras tertentu tidak
diproduksi di Indonesia, semisal beras untuk kesehatan atau konsumsi khusus.
Didalam perdagangan
global, diperlukan standarisasi produk demi terjaminnya kualitas produk
tersebut. Beras organik sebagai salah satu produk pangan organik unggulan
Indonesia, membutuhkan perlindungan untuk memastikan petani, pedagang dan
konsumen mendapatkan keuntungan yang sama, serta meningkatkan daya saing produk
beras organik lokal.
Perilaku konsumen
beras telah bergeser dari sekadar mengkonsumsi beras berkualitas sedang menjadi
beras berkualitas tinggi (Syahrir et al, 2015). Pergeseran ini terjadi dari
berkualitas medium (kualitas sedang) menjadi beras premium (berkualitas
tinggi). Prakash (2010) mengemukakan bahwa perilaku konsumen telah bergeser,
“yesterday’s luxuries are today’s necessaries”. Oleh karena itu, usaha
peningkatan produksi maupun mutu beras adalah dua variabel yang sama penting
(Suismono et. al 2008). Konsumen memegang peranan penting dalam menggiring
perekonomian dalam menghasilkan suatu produk berkualitas (Mahiuddin et
al.,2008). Menurut McCluskey dan Loureiro (2003), konsumen semakin berminat pada
produk pangan berlabel menyusul meningkatnya kesadaran untuk hidup yang lebih
sehat, aman, dan lebih ramah lingkungan. Sedangkan menurut Caswell dan Padberg (1992),
pangan berlabel hadir sebagai jawaban atas dilema tidak lengkapnya informasi
tentang keamanan pangan. Kesadaran ini membuat konsumen siap untuk membayar
lebih mahal atas produk-produk berlabel yang memiliki jaminan kesehatan,
keamanan, dan ramah lingkungan.
Oleh sebab itu,
untuk menjaga mutu dari pertanian organik atau produk organik maka diperlukan
sertifikasi oleh lembaga sertifikasi pertanian organik (Sriyanto, 2010). Dari
seluruh lembaga sertifikasi pertanian organik, proses budidaya dalam pertanian
organik menjadi fokus utama penilaian. Itu artinya, proses penilaian terbatas
kepada kesesuaian prinsip proses budidaya produk organik dengan prinsip dan
standar yang telah ditetapkan. Hingga saat ini SNI Sistem Pertanian Organik
memposisikan “proses budidaya penjaminan produk organik” sebagai objek dari
standar. Belum ada satupun SNI yang mengatur tentang “produk hasil” sebagai
objek dari SNI Sistem Pertanian Organik. Jika ditelaah lebih jauh, apakah
memungkinkan produk pangan organik distandarisasi yang berfokus pada “produk
hasil” sebagai objek standarisasi?
Diketahui bahwa
beras di Indonesia memiliki banyak sekali varietas dan beragam dalam tingkatan
mutu, begitu pula dengan beras organik. Keberagaman varietas merupakan atribut
yang sangat diinginkan dalam prinsip pertanian organik, namun tidak dipungkiri,
selama proses budidaya seringkali menghasilkan beragam tingkatan mutu. Dalam
budidaya beras, tingkatan mutu biasanya terkategori mulai dari mutu gabah
hingga mutu beras setelah penggilingan. Variasi tingkatan mutu ini sebenarnya
merupakan bagian dari peluang sekaligus tantangan. Disatu sisi, dapat
memberikan celah adanya variasi harga yang nantinya memicu perlebaran serapan
konsumen, disisi lain akan memberikan celah penurunan daya saing. Melihat peluang
dan tantangan diatas maka, apakah diperlukan suatu SNI khususnya untuk mutu
beras organik ? Siapakah yang akan diuntungkan dengan diajukannya SNI beras
ini? Dan bagaimana mekanisme yang sebaiknya diambil untuk menentukan
mutu/kualias beras organik?
Perspektif
Rantai Pasok Beras Organik
Beras organik adalah hasil budidaya padi organik dengan
rantai pasok yang ekslusif dan sesuai dengan sifat produk organik yang juga
ekslusif. Pada umumnya, beras organik memiliki rantai pasok yang belum effisien
untuk memenangi persaingan (Sari & Nurmalina, 2012; Sari & Nurmala,
2013) meskipun jika dilihat dari rantai pasok, beras organik memiliki beberapa alternatif saluran yang lebih efektif dibandingkan dengan
konvensional karena umumnya dari petani-pedagang-konsumen atau dibeberapa saluran
hanya mungkin petani-konsumen. Namun demikian, tata niaga beras konvensional lebih efisien dibandingkan
dengan beras organik dalam kaitan cash
flow (Amalia
et. al, 2013). Lamanya waktu tunggu hingga produk terjual membuat beras organik
kurang kompetitif dibading beras konvensional. Ditambah lagi, dari beberapa penelitian menunjukan bahwa,
pedagang baik beras organik ataupun konvensional memiliki persentasi margin
yang lebih tinggi dibanding petani ataupun kelompok tani (Amalia et. al, 2013).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa perbedaan jumlah
saluran pada rantai pasok beras organik dan beras konvensional tidak membuat
saluran tata niaga beras organik lebih efisien. Selain alasan mudah nya produk
konvensional dijual karena tingginya permintaan, beras konvensional memiliki
variasi kualitas yang beragam sehingga menjangkau lebih luas pembeli potensial. Ini berbeda dengan beras
organik yang belum memiliki standar untuk menjamin keberagaman produk organik.
Harga beras konvensional selain ditentukan oleh persediaan dan permintaan juga
ditentukan oleh variasi kualitasnya. Belajar dari tata niaga beras konvensional
dan dari persepektif rantai pasok, meskipun beras organik memiliki saluran relatif
yang lebih pendek tidak menjamin untuk mencapai titik efisiensi jika waktu
tunggu dalam saluran masih tinggi. Untuk mempercepat beras organik melalui
saluran pasok maka dibutuhkan cara yang juga digunakan oleh beras konvensional
yaitu pendekatan multikualitas beras.
Perspektif
Analogi Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
Dari struktur rantai pasok, HPP sebenarnya lebih
menguntungkan bagi pedagang atau penggilingan gabah karena kualitas beras
ditentukan oleh hasil penggilingan. Peran petani dalam mendapatkan keuntungan
dari usaha pengolahan padi organik hanya sebatas penjualan gabah organik.
Selama ini penentuan kualitas gabah hanya dilakukan dengan penilaian secara
visual. Fluktuasi harga gabah organik juga sangat variatif dan sangat
bergantung pada penilaian subjektif. Dengan menggunakan penilaian kualitas
secara visual, maka sering kali terjadi perbedaan persepsi kualitas diantara
petani dan pedagang, sehingga ini bisa menyebabkan komunikasi asimetris dalam
bertransaksi.
Gabah organik dapat dijual dengan harga yang kompetitif bila
menggunakan analogi HPP multikualitas, artinya harga pembelian didasarkan
kepada satuan fisik yang mudah diukur perbedaannya. Sehingga nantinya gabah
dapat dikategorikan berdasarkan sifat fisik yang mudah diamati dan konsisten pengukurannya. Penentuan
kualitas gabah ini penting karena beras yang berkualitas biasanya diawali dengan gabah yang baik
pula, baik
secara fisik maupun harga. Sejalan dengan analogi HPP, tingkatan mutu beras organik dapat
berdasarkan kepada karakteristik tingkatan mutu beras konvensional (mungkin dengan pembedaan
kategori). Menurut Maulana dan Rachman (2011) umumnya kualitas gabah konvensional produksi petani
tidak pasti dan tidak ada alat yang mengukur untuk memastikan kualitas gabah
saat transaksi dengan pedagang begitu juga dengan gabah organik. Kualitas gabah
hanya dinilai secara visual.
Meskipun kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini
mampu mendorong pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras
berkualitas (Maulana, 2012), namun dengan kemampuan petani memahami dan aturan yang belum ada
standarnya dapat memberikan penurunan pendapatan bagi petani dan penurunan daya
saing.Tingginya disparitas
harga gabah dan harga beras memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan. Faktanya, disparitas ini
paling banyak dinikmati oleh pedagang dibandingkan petani (Amalia
et. al,
2013).
Yang menarik adalah
beras organik memiliki banyak ragam dan jenis, sehingga memungkinkan harga
beras organik diklasifikasikan berdasarkan ciri/karaktersitik fisiknya. Dari
penelitian Suhardianto et. al (2007) menyatakan bahwa dari 61 rumah tangga
petani yang memproduksi beras organik
hampir
85.2 % tergolong tahan pangan dengan pendapatan dari hasil produksi beras
organik sebagai faktor utamanya. Ini membuktikan bahwa produksi beras organik dapat
menguntungkan petani dibanding beras konvensional namun fluktuasi harga dan rantai pasok
membuat petani mendapatkan bagian keuntungan yang kecil dibanding pemangku
kepentingan yang lain.
Pada lembaga
sertifikasi pertanian organik telah memberikan banyak standar terkait proses
pertanian secara organik, namun belum spesifik kepada kualitas “produk” sesuai dengan
karakteristiknya. Beragamnya produktifitas dan kualitas gabah ditingkat pentani
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim tanam, cara bercocok tanam
dan varietas beras. Dari fakta ini, dapat dimaknai bahwa sepatutnya gabah atau beras yang memiliki
kualitas baik seharusnya juga memiliki nilai jual yang tinggi. Permasalahan yang
muncul adalah belum adanya persamaan persepsi kualitas antara petani dan
pedagang yang pada akhirnya pedagang yang akan menentukan kualitas gabah/beras
tersebut dan pastinya ini akan memberikan kerugian kepada petani. Selain
itu, petani juga akan lebih termotivasi memproduksi beras organik yang lebih berkualitas karena adanya
pengaturan pembedaan kualitas berdasarkan parameter yang jelas.
Beras organik
merupakan beras dengan kategori premium (dalam klasifikasi harga). Sementara itu kualitas
fisik beras organik dapat dikategorikan berdasarkan analogi beras
konvensional berupa premium 1,
premium 2,
dan premium 3. Diharapkan dengan adanya pembagian kualitas ini (multikualitas) akan
mendorong petani untuk menghasilkan beras organik dengan mutu lebih baik dan mendapatkan
keuntungan lebih baik pula. Insentif
yang didapat petani organik langsung dari harga jual yang lebih menarik. Atribut
yang paling diperhatikan oleh konsumen saat membeli beras organik adalah harga,
kandungan gizi dan informasi produk pada kemasan (Idaman, 2012; Idaman et. al
2014). Penelitian
yang dilakukan oleh Syahrir et al (2015) tentang preferensi konsumen terhadap beras berlabel
menyimpulkan bahwa pencantuman SNI menduduki posisi keempat dari tingkat kepentingan
relatif setelah harga, ukuran kemasan dan merk. Sementara itu, mutu, panduan
memasak, varietas, warna beras serta desain kemasan secara berturut-turut
menjadi kepentingan relatif tambahan yang dipertimbangkan konsumen.
Penerapan SNI Beras
Organik multikualitas tentunya memiliki beberapa kelemahan jika tidak memiliki
beberapa hal berikut: (1) kesiapan standar gabah organik, faktanya untuk mendapatkan beras
organik dengan kualitas yang baik dibutuhkan standar gabah dan harga gabah yang
baik pula. (2) Harus ada aturan yang jelas dalam penggilingan beras organik, sehingga
tidak ada kemungkinan terjadi pencampuran beras organik dan konvensional selama
penggilingan. Analogi HPP dapat diterapkan dalam pembuatan SNI beras organik
multikualitas yang diharapkan ada kejelasan parameter sehingga terjaminnya
harga berdasarkan kualitas gabah/beras organik yang dihasilkan petani.
Berdasarkan analisa
dan pembahasan diatas, maka keuntungan maksimal akan didapat oleh pedagang atau
kelompok tani (merangkap penyalur) dari beras organik multikualitas. Jika harga
gabah tunggal maka, titik keuntungan terletak pada proses penggilingan. Dengan
adanya Beras organik multikualias atau gabah organik multikualitas dapat dimanfaakan
oleh petani dan pedagang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik. Yang
menarik adalah didalam rantai pasok beras organik adalah, penyaluran umumnya
dilakukan sendiri oleh kelompok tani sehingga keutungan SNI beras organik
multikualitas dapat dimanfaatkan sebesar besarnya oleh kelompok tani
(kolektif). Oleh sebab itu maka
diperlukan penyiapan standar yang dapat melindungi kepentingan petani dimulai
dengan persiapan standar gabah.
Untuk itu
hendaknya, jika SNI beras organik multikualitas ingin diajukan untuk
meningkatkan daya saing maka diperlukan beberapa faktor berikut: (1)
Kesinambungan pasokan (continuously of
supply), (2) Harga (price), dan
(3) Ketepatan waktu pasokan (time
delivery) (Sast, 2015).
Lebih lanjut,
beras organik multikualias berperan dalam (4) penjaminan
konsistensi mutu atau kualitas (consistency of quality).
Dari perspektif
diatas maka melalui tabel berikut dapat dilihat peluang dan tantangan jika SNI
beras organik multikualitas diajukan dan diberlakukan:
Tabel. 1 Peluang dan tantangan Penerapan SNI
Beras Organik Multikualitas
Skenario
|
Petani
|
Pedagang
|
Pemerintah
|
Konsumen
|
Peluang
|
Kepastian dalam harga jual
berdasarkan klasifikasi mutu beras organik
Diversifikasi harga dan varian mutu
Memicu peningkatan pendapatan
|
Memberikan kesempatan diversifikasi
produk
Perluasan jumlah konsumen (Captive
market)
|
Daya saing beras organik lokal
meningkat
Kesiapan Pemerintah dalam menghadapi
MEA
|
Beragamnya pilihan produk
berdasarkan harga dan kualitas
Jaminan mutu
Meningkatnya tingkat kepercayaan terhadap produk
organik
|
Tantangan
|
Keseragaman persepsi mutu
Butuh waktu adaptasi
|
Kesiapan Pedagang dalam adopsi tingkatan mutu
|
Beras dan gula merupakan komoditas yang “high sensitive
risk” untuk masuk ke MEA
Harmonisasi dengan beberapa standar terkait
|
Posisi logo organik lebih dipentingkan dalam memilih
produk organik dibanding SNI
|
Daftar Pustaka
Amalia, E., Tarigan, K dan Sebayang, T. (2013)
Perbedaan sistem tata niaga beras organik dengan beras anorganik (studi kasus
Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Journal on
social economic of agriculture and agribusiness. Vol 2 (9)
Alimoeso, S (2015) Impor beras, perlu atau
tidak. Diunduh 3 November 2015 dilaman: http://perpadi.or.id/impor-beras-perlu-atau-tidak/
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2002). Sistem
Pangan Organik. SNI 01-6729-2002
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2010). Sistem
Pangan Organik, SNI 01-6729-2010
Badan Standarisasi Nasional (BSN). (2013). Sistem Pertanian
Organik, SNI 01-6729-2013
Caswell, J.A. and D.I. Padberg, (1992). Toward a More
Comprehensive Theory for Food Labels. American Journal of Agricultural
Economics (74): 460–468.
Follows, S.B dan Joober, D (2000).
Environmentally responsible purchase behavior: a test of a consumer model.
European Journal of Marketing Vol 34. 723-746.
Idaman, N. (2012) Analisis Sikap Konsumen
terhadap beras organik (studi kasus kabupaten Sukabumi). Master Thesis. MB IPB.
Bogor.
Idalam, N., Yulianti, L. N., dan Restaningsih,
R (2014) Sikap Konsumen terhadap beras organik. Jurnal Manajemen dan
Agribisnis. 9 (2).
Mohanty, S. (2013) Trend in global rice
consumption. Rice Today. Diunduh dari: http://irri.org/rice-today/trends-in-global-rice-consumption
Mahiuddin, M., H. Khanum, M.A. Wadud, M.A.R.
Howlider, and M.A. Hai. (2008).
Consumer Attitude Toward Poultry Meat and Eggs in Muktagcha Powroshava of
Mymensingh District. Journal Agrofor. Enviromental, 2 (2) : 159-164.
McCluskey, J.J. and Loureiro, M.L. (2003). Consumer Preferences
and Willingness to Pay for Food Labeling: A Discussion of Empirical Studies.
Journal of Food Distribution Research Vol 34 (3): 95-102.
Maulana, M dan Rachman, B. (2011). Harga pembelian
pemerintah (HPP) Gabah beras tahun 2010: Efektifitas dan implikasinya terhadap
kualitas dan perdagangan oleh Dolog. Analisis kebijakan Pertanian 9(4):331-347.
Pusat social ekonomi dan kebijakan pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Maulana, M (2012) Prospek Implementasi
kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) multikualitas gabah dan beras di
Indonesia. Analisis kebijakan Pertanian. Vol 10 (3), 211-223.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
51/Permentan/HK.310/4/2014 tentang Rekomendasi Ekspor dan Impor Beras Tertentu.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Sistem Pertanian Organik.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 19/M-DAG/Per/3/2014 tentang ketentuan ekspor dan impor beras.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 27/Permentan/PP.200/4/2012
tentang pedoman harga pembelian gabah dan beras diluar kualitas.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 102
tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.
PPHP Kementian Pertanian (2014) Potensi
Pertanian Organik dan Pengembangan Beras Organik di Indonesia 2014. Diunduh dari:
http://pphp.pertanian.go.id/opini/2/potensi-pertanian-organik-dan-pengembangan-beras-organik-di-indonesia-tahun-2014
Purwasasmita, M dan Sutaryat, A (2014) Padi SRI
organik Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prakash, C. (2011). Consumer Preference to Health Drinks in
Tiruvarur Town. Asian Journal of
Management Research, 2 (1) : 420 – 427.
Saputro, S.K. (2015) Masyarakat ekonomi ASEAN
dan Produk Organik. Organis Edisi 37
(Januari-Maret)
Sari, P. N dan Nurmalina, R. (2012) Rantai
pasok berjaring beras organik dan nilai tambah pada rantai pasok tani sejahtera
farm. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol 13 (2) 63-68.
Sari, P. N dan Nurmalina, R. (2013) Manajemen
rantai pasok pada rantai pasok berjaring beras organik. Forum Agribisnis. 1-18.
Sari, P.N (2012) Analisis Network Supply chain dan pengendalian persediaan beras organic
(studi kasus: Rantai pasok tani sejahtera farm, kab, Bogor). Skripsi. IPB.
Sast, G W. (2015) MEA
dan daya saing. Diunggah 3 November 2015 dilaman: http://perpadi.or.id/mea-dan-daya-saing/
Sawit, M.H. (2015)
Inpres perberasan baru tanpa pembaharuan. Diunggah 3 November 2015 dilaman: http://perpadi.or.id/inpres-perberasan-baru-tanpa-pembaharuan/
Sriyanto, S.
(2010) Panen duit dari bisnis padi organik. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta
Suharjo, B., Ahmady, M
dan Ahmady M. R. (2013). Indonesian Consumer’s attitudes towards Organic
Products. Proceeding of 8th Asian Business Research conference 1-2
April, Bangkok, Thailand.
Suryana, A dan
Hermanto (2004) Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional dalam Ekonomi Pada dan Beras
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Suhardianto, A.,
Baliwati, Y. F dan Sukandar, D. (2007). Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani
Penghasil Beras Organik. Jurnal Gizi dan Pangan Vol 2. No. 3, 1-12.
Suismono, Sudaryono, dan A. Ramli. (2008). Kajian Beras Berlabel
di Kabupaten Subang. Prosiding Seminar Nasional Padi 2008: Inovasi Teknologi
Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan. Balai
Besar Padi Buku 4: 1715-1725
Syahrir., Adha
Taridala S. A., dan Bahari. (2015) Preferensi konsumen beras berlabel.
Agriekonomika Vol 4 (1) 10-21.